“Sudah tiga bulan ini saya keliling-keliling cari rumah. Harga rumah sangat mahal dan terus beranjak naik. Kalaupun ada, lokasinya sangat jauh, di pelosok,” keluh Purwadi (30), pegawai negeri di sebuah lembaga penelitian di Jakarta. Purwadi telah mendatangi sejumlah proyek baru perumahan yang ditawarkan di Jakarta Timur dan sekitarnya, mulai dari Rawamangun, Bintara, Cijantung, Bekasi, Depok, hingga Citayam di Kabupaten Bogor. Ia kaget menyadari harga rumah yang melangit. Rumah mungil dengan luas hunian 36 meter persegi (m2) atau tipe 36 dan luas tanah 100 m2 saat ini rata-rata dijual dengan harga satuan Rp 400 juta ke atas.
Rumah di Citayam tipe 36/100 semula ditawarkan dengan harga lebih rendah, yakni Rp 161 juta per unit. Namun, selang 1-2 bulan, ia mendapati harga rumah itu sudah naik mencapai Rp 200 juta per unit.
“Seberapa pun saya menabung rasanya enggak akan mampu mengejar kenaikan harga rumah yang begitu cepat. Harga rumah melambung tanpa kendali,” ujar Purwadi, yang akhirnya mencari rumah kontrakan.
Lonjakan harga rumah di beberapa kota di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir membuat kelimpungan sebagian masyarakat, khususnya yang berpenghasilan menengah bawah. Pegawai dengan pendapatan minim kehilangan harapan menjangkau rumah murah. Bahkan, pegawai properti pun tak mampu membelinya.
Mario Siahaan (35), pegawai pemasaran pada perusahaan perumahan PT Vista Estate, bersama istrinya, Rianty Sianturi (28), sejak menikah tinggal di rumah kontrakan dengan biaya Rp 8 juta per tahun. Rianty yang bekerja sebagai guru merupakan pegawai negeri sipil golongan IIIB. Gaji Mario ditambah gaji Rianty sekalipun tak mencukupi untuk membeli rumah pribadi.
Setiap hari Mario membujuk orang lain agar membeli rumah milik perusahaan tempatnya bekerja. Namun, dia sendiri tak mampu membelinya lantaran disparitas gaji dan harga rumah yang sangat lebar. Harga rumah untuk kelas menengah ke bawah berkisar Rp 200 juta sampai Rp 700 juta per unit.
Rianty menggambarkan, dalam sebulan, keluarga dengan satu anak itu hanya mampu menabung Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Itu setelah gaji keduanya dikurangi kebutuhan sehari-hari sekitar Rp 3 juta per bulan. Untuk menambah penghasilan, Rianty harus menyambi menjadi guru les.
“Untuk kredit rumah, paling tidak harus ada uang muka Rp 50 juta. Belum lagi uang akad dan urusan administrasi lain yang bisa mencapai Rp 20 juta. Setidaknya kami butuh dana awal Rp 70 juta. Butuh bertahun-tahun untuk bisa dapat uang muka dengan penghasilan kami saat ini,” ungkap Rianty.
Fitrie Karnita, wiraswasta muda di Palmerah, Jakarta, mengaku sudah sebulan kesulitan menemukan rumah yang layak dan terjangkau. Ia mengikuti saran dari sejumlah kerabat untuk mencari rumah yang dibangun oleh pengembang besar. Namun, harga yang ditawarkan umumnya mahal dan terus naik.
“Staf pemasaran pengembang besar bilang bahwa harga rumah akan terus naik. Semula saya pikir ini cara marketing agar konsumen cepat membeli rumah. Ternyata, harga rumah sungguh terus naik,” tuturnya.
Tiwi (28), resepsionis perusahaan properti, meyakini tak akan mampu membeli rumah seperti yang ditawarkan perusahaannya. Perusahaan tempat dia bekerja menjual rumah berbagai tipe dengan harga Rp 1,9 miliar sampai Rp 2,8 miliar. Padahal, gaji Tiwi pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Meskipun ada rumah dengan harga Rp 250 juta atau Rp 300 juta, tetap sulit bagi saya memilikinya,” kata Tiwi.
Pindah kontrakan
Kesulitan memiliki rumah juga dialami Muhammad Askin (40), yang bekerja di PT Mojong Mitra Maju sejak tahun 1993. Ia sudah tiga kali pindah kontrakan sejak menikahi Netty (38) 10 tahun lalu. Impian memiliki rumah tak kunjung terwujud seiring harga properti yang terus melambung.
Gaji Askin yang sedikit di atas upah minimum Kota Makassar tak cukup untuk mengangsur rumah sangat sederhana sekalipun. Cita-cita Askin sebenarnya sederhana, memiliki rumah tipe 22 di perbatasan Makassar dan Kabupaten Maros yang ditawarkan pengembang Rp 90 jutaan.
Sejak lima tahun belakangan, ayah dua putra itu pun menabung sebisanya untuk memenuhi besaran uang muka. Namun, upaya itu seperti sia-sia. Tabungan selama lima tahun sebesar Rp 8 juta jauh dari besaran uang muka yang Rp 18 juta. Apalagi, angsuran per bulan mencapai Rp 900.000 selama 15 tahun.
“Sejak itu, saya tahu mustahil punya rumah sendiri,” ujar Askin, yang bergaji Rp 1,6 juta per bulan.
Ramli (38), pegawai hotel di Makassar, punya pengalaman pahit ketika hendak mencicil rumah tahun lalu. Bermodal gaji Rp 2 juta per bulan, permohonan kreditnya ditolak salah satu bank pemerintah. Gaji suami dari Maharani (35) itu dianggap tidak cukup untuk membayar cicilan rumah Rp 1,1 juta per bulan selama 15 tahun.
“Pegawai bank bilang, gaji saya minimal harus tiga kali dari besarnya angsuran,” kata Ramli.
Padahal, rumah yang ingin dibeli hanya seluas 60 meter persegi dan berlokasi di Kabupaten Gowa. Ia pernah mencoba ikut program rumah murah yang ditawarkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Namun, ia terganjal syarat gaji minimal Rp 3 juta per bulan.
Menurut Agus Salim, dosen Ekonomi Universitas Hasanuddin, sudah saatnya pemerintah menyediakan program rumah murah dengan skema cicilan sesuai kemampuan buruh. Pemerintah juga perlu mencermati ketiadaan standar baku dalam penetapan harga rumah.
“Kebijakan pengembang yang selama ini cenderung seenaknya menetapkan harga membuat grafik peningkatan properti tak berbanding lurus dengan daya beli masyarakat,” paparnya.
Di tingkat nasional, kekurangan rumah saat ini menembus 15 juta unit. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,5 persen per tahun, kebutuhan rumah baru setiap tahun mencapai 900.000 unit. Sementara pasokan dari pengembang rata-rata 200.000 unit per tahun. (LKT/UTI/RIZ/MHF/CHE)
sumber: propeti.kompas.com
Leave a reply